Sing Penting Mangan Sega….


Pagi hari sekitar pukul enam, Marfuah (57) sudah bersiap membawa angkring berisi 6kg tempe di punggungnya. Dengan jarak kurang lebih satu kilometer ia berjalan kaki menuju pasar dan pulang sekitar pukul delapan tanpa ada tempe yang tidak terjual. Begitulah keseharian Marfuah si Penjual tempe.
“saya berjualan tempe sudah dua puluh tahun sampai saat ini”. Jelas Yu (mbak) Mar, begitu tetangga menyapa. Wanita yang tinggal di desa Karanglo kec. Bendosari ini bisa menghasilkan seratus buah tempe dalam seharinya. Tiap bulan ia mampu mengumpulkan setidaknya dua ratus lima puluh ribu dari hasil penjualan tempe.
Sebelumnya wanita yang kini genap memiliki enam cucu ini pernah merasakan menjadi penjual ayam dan kacang. Meski begitu yu Mar tidak pernah merasa putus asa dan tidak menginginkan anaknya kelak menjadi penjual tempe sama seperti ibunya.
Yu Mar tetap menjual tempe meski keempat anaknya kini sudah bekerja dan mempunyai penghasilan yang bisa dibilang lebih dari cukup. Ketika ditanya mengenai cita-cita ia hanya bisa tertawa.
“Gek cita-cita opo to mas, gak nduwe. Sing penting isa mangan sega. Yo…muga urip bisa sukses wae, entuk rejeki gen rasah adol tempe maneh” (Cita-cita apa sih mas, gak punya. Yang penting bisa makan nasi. Ya..semoga hidup bisa sukses aja, dapat rejeki, biar gak usah jualan tempe lagi) tuturnya.

0 comments:

Sudah ompong, gak bisa makan daging lagi

Jarang mendapatkan penumpang mungkin sudah biasa bagi Katno(53) ketika ditemui di Taman Satwa Jurug(Kamis, 26/11). “Saya sudah biasa mangkal di sini, kalau gak ada penumpang ya cuma bisa duduk-duduk atau ngobrol saja di sini. Sudah satu tahun ini saya jadi tukang becak, tapi itu sebenarnya cuma sambilan. Saya aslinya bekerja sebagai tukang bangunan “ tutur bapak empat anak ini.
Dalam kesehariannya pria yang tinggal di Puntukrejo, kec.Jaten, kab.Karanganyar ini mengaku tidak pernah menetapkan waktu untuk narik. Sebelum jadi tukang becak, ia pernah bekerja sebagai karyawan pemda di Lalu Lintas UPTD Perparkiran, Solo selama sebelas tahun.
Ia juga menjelaskan tentang perekonomian hidupnya terutama pada masa pemerintahan saat ini. “ sekarang apa-apa jadi mahal, saya sudah ompong untuk makan daging lagi “ tambahnya sambil tersenyum mengungkapkan kesulitannya membeli daging hanya untuk makan sehari-hari.
"Sehari bisa dapat lima belas ribu saja sudah untung" tambahnya soal penghasilan dalam sehari. Namun demikian di masa usianya yang semakin senja pria yang bercita-cita menjadi tentara ini tetap tegar berusaha menafkahi keluarganya.

0 comments:

Yang dinanti, sudahkah mencukupi?

Harvest Time atau masa panen adalah sesuatu hal yang dinanti-nanti oleh para petani. Ketika masa itu tiba para petani pun berduyun-duyun ke sawah mengumpulkan hasil panen. Seperti halnya warga desa Bem-bem, Gentan kab. Sukoharjo( Rabu, 18/11).
Pagi-pagi benar tleser (mesin pemisah gabah dengan dengan tangkainya) sudah berderu keras mirip dengan suara mesin diesel. Warga setempat yang berpencaharian sebagai petani dengan seragam khas (seadanya), memakai caping, saling membantu memotong padi di sawah. Dengan gaya khas mereka, tangan kiri menggenggam beberapa tangkai padi, lalu tangan kanan mengayun cepat memotong pangkal tanaman dengan sabit.
Di satu sisi terlihat bapak-bapak bertubuh kekar berkulit hitam khas terbakar sinar matahari memanggul hasil potongan padi ke mesin tleser. Atau ibu-ibu membersihkan gabah yang sudah terpisah agar tidak tercampur dengan pasir. “Panen pak/buk?“ “Nggih Pak atau Nggih Bu” begitulah jawaban apabila disapa oleh beberapa tetangga, teman, atau kerabat yang melintas.
Begitu seterusnya sampai hasil panen tersebut dijual lalu diolah menjadi beras, yang notabene merupakan makanan pokok kita. Namun demikian para petani perlu menggunakan peralatan yang canggih dan modern, serta menggunakan pupuk-pupuk berkualitas untuk meningkatkan hasil panen tersebut. Akan tetapi bagaimana mereka menyediakan semua itu apabila mereka pun tak sanggup untuk membeli?
Peran pemerintah berupa subsidi bantuan penyediaan peralatan sangat diperlukan untuk meningkatkan kinerja dan produktivitas para petani di negara agraris ini. Bila semua itu tercukupi timbul pertanyaan baru. Sudahkah hasil tersebut mencukupi kebutuhan beras negara ini?

0 comments:

yang khas di depan Boulevard



(Jumat, 20/11) Saat itu waktu menunjukkan pukul sepuluh. Hari menjelang siang. Lalu lalang kendaraan makin riuh datang, pergi, atau sekedar melewati jalan depan Boulevard UNS. Beberapa orang mampir mendatangi ke sebuah gerobak lalu pergi dengan membawa sebuah bungkus plastik hitam setelah memberikan beberapa uang lembar seribuan. Seorang pemuda dengan tinggi badan sedang, bertubuh besar sedang berdiri di depan penggorengan di gerobak tempatnya mencari penghasilan.
Di situ ia mengaduk-aduk adonan putih di dalam panci berukuran sedang. Beberapa kali suara khas penggorengan terdengar saat adonan dimasukkan ke dalam wajan. Sembari menunggu matang, pemuda itu meracik bahan-bahan makanan lalu dimasukkan ke dalam plastik. Sekali waktu dia singgah ke gerobak sebelahnya untuk meracik bahan yang sama namun kali ini disajikannya dalam piring. Dengan pencepit makanan diambilnya satu persatu tahu atau pangsit basah dengan tangan kiri lalu dipotongnya memakai gunting dengan tangan kanan. Setelah itu ditaburinya mentimun yang dipotong dadu kecil-kecil lalu sebagai finishing touch diambilnya saus kacang dari panci besar ditaruh di atas racikan tersebut dengan gaya memutar. Orang-orang yang mampir biasa mengatakan. “ Mas, batagornya satu ya? ”. “ Bungkus pa makan di sini? “ jawab pemuda itu.
Berulang kali pemuda yang berkulit sawo matang dan memiliki gaya rambut spike itu memutar setelan pada kompor gasnya, lalu dilanjutkannya dengan mengaduk gorengan. Dengan tangan kiri melingkar pada pinggang, tumit kaki kiri disandarkan pada kaki kanan, dan tangan kanan tetap mengaduk, pria itu menunggu gorengan matang.
“ Mas, batagornya satu porsi berapa?” “ Tiga ribu “ Jawab pemuda itu singkat. Ia biasa menjajakan batagornya sampai senja di setiap harinya.
Di sekitar Boulevard tepatnya menghadap rumah dinas rektor, pemuda itu mencukupi kebutuhan hidupnya. Meskipun suara berisik klakson kendaraan yang hendak menyeberang saling bersahutan, asap polusi bertebaran mewarnai suasana di sekitar gerobak tersebut, bisa dibilang para pembeli terus silih berganti mampir untuk mencicipi makanan khas dari Bandung tersebut.

0 comments:

A SALAD BOWL

Adapted from American identity slogan "A Salad Bowl" This blog contains various moments that The M-Stylist shares. It's me, M-Stylist -Moments Stylist. Sorry if the name is pretty lame and freak. But I love to be Freak! it's like my middle name *ups

Like all nerd as usual, in this blog I nerdly capture things I love, share my style of mind, post my God-bless Paper, and... lemme figure what's next...

Have Fun Reading Nerds!

The Jakarta Post Breaking News